BAB I
PENDAHULUAN
- LATAR BELAKANG
Persoalan Iman (aqidah) agaknya merupakan aspek
utama dalam ajaran Islam yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad. Pentingnnya
masalah aqidah ini dalam ajaran Islam tampak jelas pada misi pertama dakwah
Nabi ketika berada di Mekkah. Pada periode Mekkah ini, persoalan aqidah
memperoleh perhatian yang cukup kuat dibanding persoalan syari’at, sehingga
tema sentral dari ayat-ayat al-Quran yang turun selama periode ini adalah
ayat-ayat yang menyerukan kepada masalah keimanan.[[1]]
Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam
berarti berbicara tentang Ilmu Kalam. Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”.
Kaum teolog Islam berdebat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan
pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai mutakallim yaitu ahli debat yang
pintar mengolah kata. Ilmu kalam juga diartikan sebagai teologi Islam atau
ushuluddin, ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari agama. Mempelajari
teologi akan memberi seseorang keyakinan yang mendasar dan tidak mudah
digoyahkan. Munculnya perbedaan antara umat Islam. Perbedaan yang pertama
muncul dalam Islam bukanlah masalah teologi melainkan di bidang politik. Akan
tetapi perselisihan politik ini, seiring dengan perjalanan waktu, meningkat
menjadi persoalan teologi.[[2]]
Perbedaan teologis di kalangan umat Islam sejak
awal memang dapat mengemuka dalam bentuk praktis maupun teoritis. Secara
teoritis, perbedaan itu demikian tampak melalui perdebatan aliran-aliran kalam
yang muncul tentang berbagai persoalan. Tetapi patut dicatat bahwa perbedaan
yang ada umumnya masih sebatas pada aspek filosofis diluar persoalan keesaan
Allah, keimanan kepada para rasul, para malaikat, hari akhir dan berbagai
ajaran nabi yang tidak mungkin lagi ada peluang untuk memperdebatkannya.
Misalnya tentang kekuasaan Allah dan kehendak manusia, kedudukan wahyu dan
akal, keadilan Tuhan. Perbedaan itu kemudian memunculkan berbagai macam aliran,
yaitu Mu'tazilah, Syiah, Khawarij, Jabariyah dan Qadariyah serta
aliran-aliran lainnya.
Makalah ini akan mencoba menjelaskan
aliran Jabariyah danQadariyah. Dalam makalah ini
penulis hanya menjelaskan secara singkat dan umum tentang aliran Jabariyah dan Qadariyah.
Mencakup di dalamnya adalah latar belakang lahirnya sebuah aliran dan
ajaran-ajarannya secara umum.
- TUJUAN
a.
Mahasiswa mampu mengetahui pengertian dari
“Free will dan Predestination”
b.
Mahasiswa mampu mengetahui hubungan antara
“Free will dan Predestination” dengan aliran “Qadariyah dan Jabariyah”
c.
Mahasiswa mampu mngetahui pendapat dari
masing-masing aliran tentang “Free will dan Predestination”
BAB II
ISI
A.
Pengertian “Free will dan Predestination”
Perbuatan manusia diinterpretasikan oleh dua
aliran yang paradoks. Pertama, ada yang memandangnya sebagai kehendak bebas
manusia. Bahwa perbuatan-perbuatan manusia itu adalah diciptakan manusia
sendiri. Manusialah yang berkehendak. Apa yang dia inginkan, dia bias lakukan.
Sebaliknya, yang tidak diinginkan, dia bias saja untuk tidak melakukannya.
Kedua, begi kelompok ini perbuatan manusia itu bukan diciptakan oleh manusia.
Melainkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Bagi kelompok ini, manusia tidak bias
berbuat apa-apa, manusia tidak memiliki kekuatan untuk melakukan perbuatan.
Manusia hanyalah dikendalikan Allah subhanahu wa ta’ala. Aliran pertama ini,
dalam pemikiran Islam dikenal dengan sebutan Qadariyah (Free will). Sementara
yang kedua disebut Jabariyah (Predestination).
a. ALIRAN JABARIYAH (FATALISM/PREDESTINATION)
Latar
Belakang Lahirnya Jabariyah
Secara
bahasa Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung
pengertian memaksa. Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal
dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan
sesuatu. Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha
Memaksa. Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak
adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah.
Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa
(majbur).
Menurut
Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa
segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar
Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak
berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan
kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena
tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa Jabariyah adalah
aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.
Adapun
mengenai latar belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya
penjelelasan yang sarih. Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak
zaman sahabat dan masa Bani Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang
masalah Qadar dan kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak
Tuhan.[[5]] Adapaun
tokoh yang mendirikan aliran ini menurut Abu Zaharah dan al-Qasimi adalah Jahm
bin Safwan,[[6]] yang
bersamaan dengan munculnya aliran Qadariayah.
Pendapat
yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama
Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun
pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah
bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang
panas ternyata dapat tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan
suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon
kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.
Harun
Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyarakat arab tidak melihat
jalan untuk mengubah keadaan disekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan.
Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka
banyak tergantung dengan Alam, sehingga menyebabakan mereka kepada paham
fatalism.
Terlepas
dari perbedaan pendapat tentang awal lahirnya aliran ini, dalam Alquran sendiri
banyak terdapat ayat-ayat yeng menunjukkan tentang latar belakang lahirnya
paham Jabariyah, diantaranya:
a.
QS ash-Shaffat: 96
ª!$#ur ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ
“Padahal
Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".
b. QS
al-Anfal: 17
öNn=sù öNèdqè=çFø)s? ÆÅ3»s9ur ©!$# óOßgn=tGs% 4 $tBur |MøtBu øÎ) |MøtBu ÆÅ3»s9ur ©!$# 4tGu 4 uÍ?ö7ãÏ9ur úüÏZÏB÷sßJø9$# çm÷ZÏB ¹äIxt/ $·Z|¡ym 4 cÎ) ©!$# ììÏJy ÒOÎ=tæ ÇÊÐÈ
“ Maka
(yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang
membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi
Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan
untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang
baik. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
c.
QS al-Insan: 30
$tBur tbrâä!$t±n@ HwÎ) br& uä!$t±o ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JÎ=tã $VJÅ3ym ÇÌÉÈ
Artinya
: “Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Selain
ayat-ayat Alquran di atas benih-benih faham al-Jabar juga dapat dilihat dalam
beberapa peristiwa sejarah:
a. Suatu
ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah Takdir
Tuhan, Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar
terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
b. Khalifah
Umar bin al-Khaththab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika diintrogasi,
pencuri itu berkata "Tuhan telah menentukan aku mencuri". Mendengar
itu Umar kemudian marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta. Oleh
karena itu Umar memberikan dua jenis hukuman kepada orang itu, yaitu: hukuman
potongan tangan karena mencuri dan hukuman dera karena menggunakan dalil takdir
Tuhan.
c. Ketika
Khalifah Ali bin Abu Thalib ditanya tentang qadar Tuhan dalam kaitannya dengan
siksa dan pahala. Orang tua itu bertanya,"apabila perjalanan (menuju
perang siffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala
sebagai balasannya. Kemudian Ali menjelaskannya bahwa Qadha dan Qadha Tuhan
bukanlah sebuah paksaan. Pahala dan siksa akan didapat berdasarkan atas amal
perbuatan manusia. Kalau itu sebuah paksaan, maka tidak ada pahala dan siksa,
gugur pula janji dan ancaman Allah, dan tidak pujian bagi orang yang baik dan
tidak ada celaan bagi orang berbuat dosa.
d. Adanya
paham Jabar telah mengemuka kepermukaan pada masa Bani Umayyah yang tumbuh
berkembang di Syiria.]
Di
samping adanya bibit pengaruh faham jabar yang telah muncul dari pemahaman
terhadap ajaran Islam itu sendiri. Ada sebuah pandangan mengatakan bahwa aliran
Jabar muncul karena adanya pengaruh dari dari pemikriran asing, yaitu pengaruh
agama Yahudi bermazhab Qurra dan agama Kristen bermazhab Yacobit.[[10]]
Dengan
demikian, latar belakang lahirnya aliran Jabariyah dapat
dibedakan kedalam dua factor, yaitu factor yang berasal dari pemahaman
ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan Sunnah, yang mempunyai
paham yang mengarah kepada Jabariyah. Lebih dari itu adalah adanya
pengaruh dari luar Islam yang ikut andil dalam melahirkan aliran ini.
Adapun
yang menjadi dasar munculnya paham ini adalah sebagai reaksi dari tiga perkara:
pertama, adanya paham Qadariyah, keduanya, telalu tekstualnya
pamahaman agama tanpa adanya keberanian menakwilkan dan ketiga adalah adanya
aliran salaf yang ditokohi Muqatil bin Sulaiman yang berlebihan dalam
menetapkan sifat-sifat Tuhan sehingga membawa kepada Tasybih.
c. Ajaran-ajaran Jabariyah
(Predestination)
Adapun
ajaran-ajaran Jabariyah dapat dibedakan menjadi dua kelompok,
yaitu ekstrim dan moderat.
Pertama,
aliran ekstrim. Di antara tokoh adalah Jahm bin Shofwan dengan pendapatnya
adalah bahwa manusia tidak mempu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai
daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat
Jahm tentang keterpaksaan ini lebih dikenal dibandingkan dengan pendapatnya
tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan
melihat Tuhan di akherat. Surga dan nerka tidak kekal, dan yang kekal hanya
Allah. Sedangkan iman dalam pengertianya adalah ma'rifat atau membenarkan
dengan hati, dan hal ini sama dengan konsep yang dikemukakan oleh kaum Murjiah.
Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah tidak mempunyai keserupaan dengan manusia
seperti berbicara, mendengar, dan melihat, dan Tuhan juga tidak dapat dilihat
dengan indera mata di akherat kelak.[[12]]Aliran
ini dikenal juga dengan nama al-Jahmiyyah atau Jabariyah
Khalisah.[[13]]
Ja'ad
bin Dirham, menjelaskan tentang ajaran pokok dari Jabariyahadalah
Alquran adalah makhluk dan sesuatu yang baru dan tidak dapat disifatkan kepada
Allah. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti
berbicara, melihat dan mendengar. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala hal.[[14]]
Dengan
demikian ajaran Jabariyah yang ekstrim mengatakan bahwa
manusia lemah, tidak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan,
tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagaimana dimilki oleh paham Qadariyah.
Seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari scenario dan
kehendak Allah. Segala akibat, baik dan buruk yang diterima oleh manusia dalam
perjalanan hidupnya adalah merupakan ketentuan Allah.
Kedua,
ajaran Jabariyah yang moderat adalah Tuhan menciptakan
perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi manusia mempunyai
bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek
untuk mewujudkan perbuatannya. Manusia juga tidak dipaksa, tidak seperti wayang
yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi
manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan tuhan. Tokoh yang berpaham seperti
ini adalah Husain bin Muhammad an-Najjar yang mengatakan bahwa Tuhan
menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau
peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu dan Tuhan tidak dapat dilihat di
akherat. Sedangkan adh-Dhirar (tokoh jabariayah moderat lainnya) pendapat bahwa
Tuhan dapat saja dilihat dengan indera keenam dan perbuatan dapat ditimbulkan
oleh dua pihak.[[15]]
C.
ALIRAN QADARIYAH ( FREE WILL AND FREE ACT(
Latar
Belakang Lahirnya Aliran Qadariyah
Pengertian Qadariyah secara
etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang bemakna kemampuan dan
kekuatan. Adapun secara termenologi istilah adalah suatu aliran yang percaya
bahwa segala tindakan manusia tidak diinrvensi oleh Allah. Aliran-aliran ini
berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia
dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini
lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan
perbutan-perbutannya. Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari
pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan
bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.[[16]]
Menurut
Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Dr. Hadariansyah, orang-orang yang
berpaham Qadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia
memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan
perbuatan. Manusia mampu melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni
baik dan buruk.
Sejarah
lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti
dan masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada
sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyahpertama kali
dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70
H/689M.
Ibnu
Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad
Amin, aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang
Irak yang pada mulanya beragama Kristen, kemudian masuk Islam dan kembali lagi
ke agama Kristen. Namanya adalah Susan, demikian juga pendapat Muhammad Ibnu
Syu’ib. Sementara W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain yang menyatakan
bahwa paham Qadariyah terdapat dalam kitab ar-Risalah dan
ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700M.
Ditinjau
dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah sebagai isyarat
menentang politik Bani Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyahdalam
wilayah kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin
Marwan pengaruh Qadariyah dapat dikatakan lenyap tapi hanya
untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah itu
tertampung dalam Muktazilah.
d. Ajaran-ajaran Qadariyah
Harun
Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang ajaranQadariyah bahwa
manusia berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan
perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula
yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya
sendiri. Tokoh an-Nazzam menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan
dengan daya itu ia dapat berkuasa atas segala perbuatannya.
Dengan
demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri.
Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya
sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak
mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula
memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Ganjaran kebaikan di sini
disamakan dengan balasan surga kelak di akherat dan ganjaran siksa dengan
balasan neraka kelak di akherat, itu didasarkan atas pilihan pribadinya
sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu sangat pantas, orang yang berbuat
akan mendapatkan balasannya sesuai dengan tindakannya.
Faham
takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep
yang umum yang dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan
bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatannya,
manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali
terhadap dirinya. Dengan demikian takdir adalah ketentuan Allah yang
diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu
hokum yang dalam istilah Alquran adalah sunnatullah.
Secara
alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah.
Manusia dalam demensi fisiknya tidak dapat bebruat lain, kecuali mengikuti
hokum alam. Misalnya manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip
seperti ikan yang mampu berenang di lautan lepas. Demikian juga manusia tidak
mempunyai kekuatan seperti gajah yang mampu membawa barang seratus kilogram.
Dengan
pemahaman seperti ini tidak ada alasan untuk menyandarkan perbuatan kepada
Allah. Di antara dalil yang mereka gunakan adalah banyak ayat-ayat Alquran yang
berbicara dan mendukung paham itu :
¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbrßÅsù=ã þÎû $uZÏF»t#uä w tböqxÿøs !$uZøn=tã 3 `yJsùr& 4s+ù=ã Îû Í$¨Z9$# îöyz Pr& `¨B þÎAù't $YZÏB#uä tPöqt ÏpyJ»uÉ)ø9$# 4 (#qè=uHùå$# $tB ôMçGø¤Ï© ( ¼çm¯RÎ) $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? îÅÁt/ ÇÍÉÈ
Artinya
: “Kerjakanlah apa yang kamu kehendaki sesungguhnya Ia melihat apa yang kamu
perbuat”. (QS. Fush-Shilat : 40).
È@è%ur ,ysø9$# `ÏB óOä3În/§ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3uù=sù 4 !$¯RÎ) $tRôtGôãr& tûüÏJÎ=»©à=Ï9 #·$tR xÞ%tnr& öNÍkÍ5 $ygè%Ï#uß 4 bÎ)ur (#qèVÉótGó¡o (#qèO$tóã &ä!$yJÎ/ È@ôgßJø9$%x. Èqô±o onqã_âqø9$# 4 [ø©Î/ Ü>#u¤³9$# ôNuä!$yur $¸)xÿs?öãB ÇËÒÈ
Artinya
: “Katakanlah kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau beriman maka
berimanlah dan barang siapa yang mau kafir maka kafirlah”. (QS. Al-Kahfi : 29).
!$£Js9urr& Nä3÷Gu;»|¹r& ×pt7ÅÁB ôs% Läêö6|¹r& $pkön=÷VÏiB ÷Läêù=è% 4¯Tr& #x»yd ( ö@è% uqèd ô`ÏB ÏYÏã öNä3Å¡àÿRr& 3 ¨bÎ) ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« ÖÏs% ÇÊÏÎÈ
Artinya
: “dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), Padahal kamu
telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan
Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?"
Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS.Ali Imran :165)
¼çms9 ×M»t7Ée)yèãB .`ÏiB Èû÷üt/ Ïm÷yt ô`ÏBur ¾ÏmÏÿù=yz ¼çmtRqÝàxÿøts ô`ÏB ÌøBr& «!$# 3 cÎ) ©!$# w çÉitóã $tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçÉitóã $tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3 !#sÎ)ur y#ur& ª!$# 5Qöqs)Î/ #[äþqß xsù ¨ttB ¼çms9 4 $tBur Oßgs9 `ÏiB ¾ÏmÏRrß `ÏB @A#ur ÇÊÊÈ
Artinya
: “Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
merobah keadaan[Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak
merobah sebab-sebab kemunduran mereka.] yang ada pada diri mereka sendiri”.
(QS.Ar-R’d :11)
e. Refleksi Faham Qadariyah(Free
will) dan Jabariyah (Predestination) : Sebuah Perbandingan tentang Musibah
Dalam
paham Jabariyah, berkaitan dengan perbuatannya, manusia digambarkan
bagai kapas yang melayang di udara yang tidak memiliki sedikit pun daya untuk menentukan
gerakannya yang ditentukan dan digerakkan oleh arus angin. Sedang yang
berpaham Qadariyah akan menjawab, bahwa perbuatan manusia
ditentukan dan dikerjakan oleh manusia, bukan Allah. Dalam paham Qadariyah,
berkaitan dengan perbuatannya, manusia digambarkan sebagai berkuasa penuh untuk
menentukan dan mengerjakan perbuatannya.
Pada
perkembangan selanjutnya, paham Jabariyah disebut juga sebagai
paham tradisional dan konservatif dalam Islam dan pahamQadariyah disebut
juga sebagai paham rasional dan liberal dalam Islam. Kedua paham teologi Islam
tersebut melandaskan diri di atas dalil-dalil naqli (agama) - sesuai pemahaman
masing-masing atas nash-nash agama (Alquran dan hadits-hadits Nabi Muhammad) -
dan aqli (argumen pikiran). Di negeri-negeri kaum Muslimin, seperti di
Indonesia, yang dominan adalah paham Jabariyah. Orang Muslim yang
berpaham Qadariyah merupakan kalangan yang terbatas atau hanya
sedikit dari mereka.
Kedua
paham itu dapat dicermati pada suatu peristiwa yang menimpa dan berkaitan
dengan perbuatan manusia, misalnya, kecelakaan pesawat terbang. Bagi yang
berpaham Jabariyah biasanya dengan enteng mengatakan bahwa
kecelakaan itu sudah kehendak dan perbuatan Allah. Sedang, yang berpaham Qadariyah condong
mencari tahu di mana letak peranan manusia pada kecelakaan itu.
Kedua
paham teologi Islam tersebut membawa efek masing-masing. Pada paham Jabariyah semangat
melakukan investigasi sangat kecil, karena semua peristiwa dipandang sudah
kehendak dan dilakukan oleh Allah. Sedang, pada paham Qadariyah,
semangat investigasi amat besar, karena semua peristiwa yang berkaitan dengan
peranan (perbuatan) manusia harus dipertanggungjawabkan oleh manusia melalui
suatu investigasi.
Dengan
demikian, dalam paham Qadariyah (Free will), selain manusia
dinyatakan sebagai makhluk yang merdeka, juga adalah makhluk yang harus
bertanggung jawab atas perbuatannya. Posisi manusia demikian tidak terdapat di
dalam paham Jabariyah(Predestination). Akibat dari perbedaan sikap
dan posisi itu, ilmu pengetahuan lebih pasti berkembang di dalam paham Qadariyah ketimbang Jabariyah.
Dalam
hal musibah gempa dan tsunami baru-baru ini, karena menyikapinya sebagai
kehendak dan perbuatan Allah, bagi yang berpahamJabariyah, sudah cukup
bila tindakan membantu korban dan memetik "hikmat" sudah dilakukan.
Sedang
hikmat yang dimaksud hanya berupa pengakuan dosa-dosa dan hidup selanjutnya
tanpa mengulangi dosa-dosa. Sedang bagi yang berpaham Qadariyah,
meski gempa dan tsunami tidak secara langsung menunjuk perbuatan manusia, namun
mengajukan pertanyaan yang harus dijawab : adakah andil manusia di dalam
"mengganggu" ekosistem kehidupan yang menyebabkan alam
"marah" dalam bentuk gempa dan tsunami? Untuk itu, paham Qadariyah membenarkan
suatu investigasi (pencaritahuan), misalnya, dengan memotret lewat satelit
kawasan yang dilanda musibah.
B.
Pendapat aliran-aliran tentang “Free will dan
Predestination”
a.
Mu’tazilah
Kaum mu’tazilah , karena dalam system teologi
mereka manusia dipandang mempunyai daya yang besar lagi bebas, sudah barang
tentu menganut paham qadariyah atau free will. Dan memang mereka juga disebut
kaum Qadariyah. Pula keterangan-keterangan dan tulisan-tulisan para pemuka
mu’tazilah banyak mengandung paham kebebasan dan berkuasanya manusia atas
perbuatanperbuatannya.
Bagi Mu'tazilah yang
berpaham (free wiil atau free art) manusia dipandang mempunyai daya
yang besar dan bebas.Menurut Al-Jubba'i, manusia sendirilah yang menciptakan
perbuatan-perbuatannya.Manusia berbuat baik atau buruk, patuh dan tidak patuh
kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri.Daya (istitha'ah)
untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam
diri manusia sebelum adanya perbuatan.Pendapat yang sama
dikemukakan Abd Al-Jabbar. Ia mengemukakan bahwa perbuatan manusia bukanlah
diciptakan oleh Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang
mewujudkannya.Dengan demikian, Mu'tazilah beranggapan bahwa
Tuhan tidak mempunyai bagian dalaam perwujudan perbuatan-perbuatan manusia.
Keterangan-keterangan
di atas sangat jelas mengatakan bahwa kehendak untuk berbuat adalah kehendak
manusia.Tapi selanjutnya tidak jelas apakah daya yang dipakai untuk mewujudkan
perbuatan itu adalah pula daya manusia sendiri.Dalam hubungan ini perlu kiranya
ditegaskan bahwa untuk terwujudnya perbuatan, harus ada kemauan atau kehendak
dan daya untuk melaksanakan kehendak itu, dan kemudian barulah terwujudnya
perbuatan.Disini belum jelas daya siapakah dalam paham Mu'tazilah yang
mewujudkan perbuatan manusia, daya manusia atau daya Tuhan? Dari
keterangan-keterangan Mu'tazilah di atas, mungkin dapat dapat
ditarik kesimpulan bahwa karena perbuatan manusia adalah sebenarnya perbuatan
manusia itu sendiri dan bukan perbuatan Tuhan, maka daya yang mewujudkan
perbuatan itu tak boleh tidak mesti daya manusia bukan daya Tuhan.Sungguhpun
demikian masih timbul pertanyaan.Apakah daya manusia sendiri yang mewujudkan
perbuatannya ataukah daya Tuhan turut mempunyai bagian dalam mewujdkan
perbuatan
itu? Jawaban
untuk pertanyaan itu dapat diperoleh dari keterangan-keterangan yang diberikan
Abd Al-Jabbar di dalam al-Majmu'.
Di dalam buku ini ia menerangkan bahwa
yang dimaksud dengan “Tuhan membuat manusia sanggup mewujudkan perbuatannya”
ialah bahwa Tuhan menciptakan daya di dalam diri manusia dan pada daya inilah
tergantung wujud perbuatan itu, bukanlah yang dimaksud bahwa Tuhan membuat
perbuatan yang telah dibuat manusia. Dengan
demikian, Mu'tazilah tidak mengakui adanya qadla daan qadar
Allah SWT sehingga sudah sangat jelas paham Mu'tazilahberanggapan
bahwa perbuatan yang mereka lakukan adalah perbuatan diri manusia bukan
perbuatan Tuhan.Dan setiap perbuatan pasti ada sebuah daya yang menimbulkan
perbuatan itu.Daya yang berada dalam diri manusia ditimbulkan oleh manusia itu
sendiri bukan daya Tuhan.Daya Tuhan tidak ada kaitannya atau tidak mempunyai
bagian dalam perwujudan perbuatan-perbuatan manusia.Perbuatan manusia
seakan-akan adalah perbuatan Tuhan padahal bukan perbuatan Tuhan.Daya Tuhan
tidak ikut campur dengan daya manusia.Masalah daya yang ada pada diri manusia
itu menurut pendapat Mu'tazilah adalah daya yang juga
diciptakan oleh manusia itu sendiri dan itu tidak ada hubungannya dengan daya
Tuhan.
Mu'tazilah mengecam keras keras paham yang mengatakan bahwa
Tuhanlah yang menciptakan perbuatan.Bagaimana mungkin, dalam satu perbuatan
akan ada dua daya yang menentukan?Dengan paham ini,aliran Mu'tazilah mengaku
Tuhan sebagai pencipta awal, sedangkan manusia berperan sebagai pihak yang
berkreasi untuk mengubah
bentuk. Oleh
karenanya,perbuatan manusia adalah perbuatan yang sebenarnya mereka buat atau
mereka ciptakan bukan perbuatan Tuhan.Sehingga manusia sendirilah yang mewujudkan
perbuatan itu dan tidak ada keterkaitannya dengan Tuhan. Tuhan tidak mewujudkan
perbuatan tersebut. Manusialah yang menciptakan perbuatannya sendiri dan bukan
ciptaan atu perbuatan Tuhan.
Manusia
menurut kaum Mu’tazilah, melakukan dan menciptakan
perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara
langsung atau tidak. Manusia benar-benar bebas untuk menentukan pilihan
perbuatannya; baik atau buruk. Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki
yang baik, bukan yang buruk. Konsep ini memiliki konsekuensi logis
dengan keadilan Tuhan,yaitu, apapun yang akan diterima manusia diakhirat
merupakan balasan perbuatannya di dunia.kebaikan akan dibalas dengan kebaikan
dan kejahatan akan dibalas dengan kejahatan. Hal ini merupakan balasan perbuatan
manusia yang terikat dengan baik dan buruk dari Allah.Allah berfirman:
(7)فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالْ
ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهُ (8)وَمَنْ
يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًا يَّرَهُ (الزلزلة:7-8)
)7)Barang siapa yang mengerjakan kebaikan sebesar dzarrahpun,niscaya
dia akan melihat balasannya(8)dan barang siapa yang megerjakan keburukan
sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat balasannya pula.(QS.Al-Zalzalah:
7-8)
b.
Asy’ariyah
Pada aliran Asy’ariyah, karena manusia
dipandang lemah, paham qadariyah tidak terdapat. Kaum Asy’ariyah dalam hal ini
lebih dekat kepada paham jabariyah daripada ke paham Mu’tazilah. Manusia dalam
kelemahannya banyak bergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Untuk
menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan kemauan dan kekuasaan mutlak
Tuhan, al Asy’ari memakai kitab al’kasb (acquisition, perolehan). Paham al kasb
sulit untuk dapat ditangkap, dan demikian sulitnya, sehingga ucapan “lebih
sulit dari kasb al Asy’ari”. Menurut Abu ‘Uzbah, telah menjadi perumpamaan.
Dalam paham al Asy’ari, untuk terwujudnya perbuatan perlu
ada dua daya, daya Tuhan dan daya manusia. Tetapi yang berpengaruh dan yang
paling efektif pada akhirnya dalam pewujudan perbuatan ialah daya tuhan.
Sebagai diterangkan oleh al-Isfarayini daya manusia tidaklah efektif kalau
tidak disokong oleh daya Tuhan. Oleh karena iti al Ghozali mengatakan bahwa
daya manusia lebih dekat merupakan impotensi daripada merupakan yang lain.
Pendapat
Mu’tazilah ini di tentang oleh Al-Ghozali, karena menurut pendapatnya hal ini
bertentangan dengan ijma’ atau consensus alim
ulama’ tentang tidak adanya pencipta kecuali Allah (la-khaliqa illa Allah).Tidaklah
mengherankan sekiranya lawan menuduh mereka mempunyai pahamsyirk atau polyhteism dan
kalau Al-Asy’ari menuduh mereka telah tidak berjihat lagi pada Tuhan.Tuduhan
yang sama datang juga dari Al-Maturidi.Dalam pendapat kaum Mu’tazilah daya
untuk berbuat, terdapat dalam diri manusia sebelum diwujudkan perbuatan yang
bersangkutan. Dapatnya daya yang demikian dipergunakan manusia dengan merdeka
dan menurut kehendaknya, kata Al-Maturidi, mesti membawa kepada paham bahwa
manusia tidak berhajat lagi kepada Tuhan.
Di
atas sudah sedikit di bahas tentang pertentangan pahah Mu’tazilah.Menurut
aliran Asy’ariah, di sini, karena manusia dipandang lemah,
paham Qadariyah tidak terdapat. Kaum Asy’ariyah dalam hal ini
lebih dekat kepada paham Jabariyah daripada paham Qadariyah atauMu’tazilah.
Manusia dalam kelemahannya banyak bergantung kepada kehendak dan kekuasaan
Tuhan. Untuk menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan kemauan dan
kekuatan mutlak Tuhan,Al-Asy’ari memakai kata al-kasb (acquistion,perolehan). Al kasb adalah perbuatan yang terletak di dalam
lingkungan kekuasan diciptakan. Definisi ini menurut ‘Abduh mengandung arti
bahwa daya manusia turut serta ( li al-Qudroh madkhol ) dalam perwujudan
perbuatannya. Oleh karena itu ‘Abduh berpendapat bahwa manusia dalam teori al
kasb tidaklah seluruhnya bersifat pasif, sebagaimana halnya manusia dalam paham
jabariyah atau predestination. Paham al-kasb sulit untuk dapat
ditangkap, dan demikian sulitnya,sehingga ucapan”lebih sulit dari kasb al-Asy’ari,”
menurut Abu ‘Uzbah, telah menjadi perumpamaan.
Iktisab,
menurut Asy’ariah, adalah terjadinya sesuatu dengan perantara daya yang
diciptakan.Dengan demikian, menjadi kasb bagi orang yang
menggunakan daya itu dan terciptalah perbuatan. Jadi, kasb adalah
sesuatu yang timbul dari al-muktasib (yang memperoleh) dengan
perantaraan daya yang diciptakan. Dengan teori kasb ini, Asy’ariah ingin
memperlihatkan bahwa manusia mempunyai aktifitas dalam hubungannya dengan
terciptanya perbuatan. Namun, dengan di kemukakannya bahwa kasb itu diciptakan
Tuhan, itu menunjukkan bahwa manusia memiliki keterkaitan-keterkaitan.Ayat yang
di jadikan landasan adalah surat Al-Shaffat ayat 96 dan Al-Insan ayat 30. Jadi,
kasb sebenarnya perbuatan Tuhan sendiri.
وَاللهُ خَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلون
Artinya : “Allah telah mencitakan kamu dan apa yang kamu
perbuat.” (QS.As-Saffat : 96)
Wa
ma ta’malun, di sini diartikan oleh as-Asy’ari “apa yang kamu
perbuat dan bukan “apa yang kamu buat.” Dengan
demikian ayat ini mengandung arti Allah menciptakan kamu dan
perbuatan-perbuatan kamu. Jadi, dalam paham al-Asy’ari , perbuatan-perbuatan
manusia adalah diciptakan Tuhan. Dan tidak ada pembuat (fa’il atau agent)
bagi kasb kecuali Allah . Dengan perkatan lain, yang
mewujudkan al-kasb atau perbuatan manusia , dalam pendapat
al-Asy’ari , sebenarnya adalah Tuhan sendiri. Sebenarnya
pendapat al-Asy’ari yang demikian dapat dilihat dari uraiannya mengenai
perbuatan-perbuatan involunter (harkah al-idtirar)dari manusia . Dalam
perbuatan –perbuatan involunter , kata al-Asy’ari , terdapat dua unsur ,
penggerak yang mewujudkan gerak dan badan yang bergerak . Penggerak yaitu
pembuat gerak yang sebenarnya (al-fail laha ‘ala haqiqatiha)adalah tuhan
Tuhan dan yang bergerak adalah manusia . Yang bergerak tidaklah Tuhan karena
gerak menghendaki tempat yang bersifat jasmani . Tuhan tidak
mungkin mempunyai bentuk jasmani . Al-kasb ,
serupa dengan gerak involunter ini, juga mempunyai dua unsur, pembuat yang
memperoleh perbuatan. Pembuat yang sebenarnya al-kasb ialah
Tuhan sedangkan yang memperoleh perbuatan adalah manusia . Tuhan tidak menjadi
yang memperoleh perbuatan karena, al-kasb terjadi hanya dengan
daya yang diciptakan , dan Tuhan tidak mungkin mempunyai daya yang diciptakan.
Teori kasb Asy’ariah
ini dapat dilihat dalam perbuatan-perbuatan involunter (harakah
al-idtitar).Menurut Asy’ariah, dalam perbuatan itu ada dua unsur, penggerak
dan mewujudkan gerak, dan badan yang bergerak. Penggerak adalah pembuat gerak
(Tuhan) dan yang bergerak adalah badan manusia.Yang bergerak tidak mungkin
Tuhan, karena gerak menghendaki tempat yang bersifat jasmani.Jadi manusia
tempat berlakunya perbuatan-perbuatan Tuhan.Tegasnya, dalam perbuatan-perbuatan
, Tuhan mengambil tempat dalam diri manusia.Al –kasb hanyalah
perbuatan paksaan.
Dengan
demikian al-kasb, sebagaimana halnya dengan perbuatan
perbuatan involunter, merupakan perbuatan paksaan dan perbuatan di luar
kekuasaan manusia. Tetapi sungguhpun demikian Al-Asy’ari mengadakan perbedaan
antara keduanya. Dalam perbuatan involunter, kata Al-Asy’ari, manusia terpaksa
melakukan sesuatu yang tidak dapat dielekkannya, walau bagaimanapun ia
berusaha. Tetapi dalam al-kasb, demikian asy’ari selanjutnya,
paksaan yang demikian tidak terdapat.Gerakan manusia berjalan pulang pergi
berlainan dengan gerak manusia manusia yang menggigil karena demam.Orang dapat
membedakan kedua hal ini. Dalam hal pertama terdapat daya yang diciptakan
sedangkan dalam hal kedua terdapat ketidakmampuan.Karena dalam hal pertama
terdapat daya, perbuatan itu tidak dapat disebut paksaan,kepadanya diberi nama al-kasb.Begitupun,kedua
perbuatan itu adalah ciptaan Tuhan.
c.
Al Maturidiyah Samarkand
Pendapat Mu’tazilah di
atas hampir sama dengan pendapat Maturidiah Samarkand.
Menurut Maturidiah Samarkand, perbuatan manusia itu ciptaan Tuhan,
Disebutkannya dua perbuatan, yaitu perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan
Tuhan mengambil bentuk penciptaan daya dalam diri manusia, dan pemakaian daya
itu sendiri itu adalah perbuatan manusia Kehendak dan daya berbuat pada diri
manusia menurut Maturidiyah Samarkand, adalah kehendak dan daya manusia dalam
arti kata sebenarnya dan bukan dalam arti kiasan. Namun, bagi Maturidi
Samarkand, daya itu diciptakan bersama-sama dengan perbuatan. Berbeda
dengan Mu’tazilah yang beranggapan bahwa daya diciptakan lebih
dahulu dari perbuatan. Sehingga manusia dalam faham Al Maturidi tidaklah
sebebas manusia dalam Mu’tazilah Perbuatan manusia, menurut Samarkand, merupakan
perbuatan manusia yang sebenarnya, sehingga apa yang disebut pemberian pahala
dan siksa didasarkan atas pemakaian daya yang diciptakan.
d.
Al Maturidiyah Bukhara
Adapun Maturidiah golongan Bukhara, maka bagi mereka, menurut yang di
jelaskan al-Bazdawi, kehendak berbuat adalah sama dengan kehendak yang terdapat
dalam paham golongan Samarkand. Mereka juga mengikuti Abu Hanifah dalam paham
kehendak dan kerelaan hati Tuhan. Kebebebasan kehendak bagi mereka hanyalah
juga kebebasan untuk berbuat tidak dengan kerelaan hati Tuhan. Daya juga sama,
yaitu daya diciptakan bersam-sama dengan perbuatan. Pendapat bahwa daya diciptakan
sebelum perbuatan, kata al-Bazdawi, adalah salah besar dan akan membawa kepada
keyakinan bahwa manusialah yang menciptakan perbuatannya.
Golongan ini juga berpendapat
bahwa untuk perwujudan perbuatan perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai
daya untuk menciptakan. Daya yang ada pada manusia bisa untuk melakukan
perbuatan. Hanya Tuhan yang dapat mencipta, dan dalam ciptaannya termasuk
perbuatan manusia. Dengan demikian manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang
telah diciptakan Tuhan baginya.
Selanjutnya,Al-Bazdawi
mengatakan bahwa dalam perwujudan, terdapat dua perbuatan, perbuatan manusia
dan perbuatan Tuhan.Perbuatan Tuhan adalah menciptakan perbuatan manusia,bukan
penciptaan daya.Duduk, misalnya, adalah dengan daya yang diciptakan Tuhan.Melakukan
perbuatan duduk dengan daya yang diciptakan Tuhan adalah perbuatan manusia.Di
sini Al-Bazdawi ingin menjelaskan bahwa perbuatan manusia itu diciptaan Tuhan,
bukan perbuatan Tuhan.Ia menjelaskan bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam
kemauan dan perbuatannya. Kebebasan dalam paham ini dalam arti yang sangat
kecil. Perbuatan manusia hanyalah melakukan perbuatan yang telah diciptakan
Tuhan,tepatnya bukan menciptakan tetapi melakukan perbuatan.Menciptakan
perbuatan lebih efektif ketimbang melakukan. Jadi, perbuatan manusia adalah
perbuatan Tuhan, bukan perbuatan manusia.
Dengan
adanya kritika serupa ini, Al-Bazdawi akhirnya ragu-ragu dalam mengatakan bahwa
perbuatan manusia adalah perbuatan manusia dalam arti kata sebenarnya,
sungguhpun ia pada mulanya dengan tegas mengatakan yang demikian. Bagi golongan
Maturidiah Bukhara, akhirnya, sebagai halnya dengan kaum Al-Asy’ariah,
daya manusia tidaklah efektif dalam mewujudkan perbuatannya.
BAB
III
KESIMPULAN
Menurut
penulis solusi terhadap pandangan Free will dan Predestination yaitu
bahwa manusia benar-benar memiliki kebebasan berkehendak dan karenanya ia akan
dimintai pertanggungjawaban atas keputusannya, meskipun demikian keputusan
tersebut pada dasarnya merupakan pemenuhan takdir (ketentuan) yang telah
ditentukan. Dengan kata lain, kebebasan berkehendak manusia tidak dapat
tercapai tanpa campur tangan Allah SWT, seperti seseorang yang ingin membuat
meja, kursi atau jendela tidak akan tercapai tanpa adanya kayu sementara kayu
tersebut yang membuat adalah Allah SWT.
Sebagai
penutup dalam makalah ini. Free will dan Predestination nampaknya
memperlihatkan paham yang saling bertentangan sekalipun mereka sama-sama
berpegang pada Alquran. Hal ini menunjukkan betapa terbukanya kemungkinan
perbedaan pendapat dalam Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaththan,
Manna Khalil. 2004. Studi Ilmu-ilmu Alqur’an. Jakarta : Litera AntarNusa
Anwar,
Rosihan. 2006. Ilmu Kalam. Bandung : Pustaka Setia
Asmuni,
Yusran. 1996. Pengantar Studi Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran.
Jakarta Raja grafindo Persada
Hadariansyah,
AB. 2008. Pemikiran Pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam.
Banjarmasin : Antasari Press
Nasution,
Harun. 1986. Teologi Islam : Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan.
Jakarta : U-I Press
Ika menarik tulisannya, subhanallah pemikiran islam cq mengenai aliran2 begitu dinamis dan masing2 aliran memiliki sumber dalil kuat (Al-qur'an dan Hadist). Semoga memperkaya pemikiran umat agar tidak semakin jauh dari kebenaran firman dan hadist. Amin...
BalasHapusIka menarik tulisannya, subhanallah pemikiran islam cq mengenai aliran2 begitu dinamis dan masing2 aliran memiliki sumber dalil kuat (Al-qur'an dan Hadist). Semoga memperkaya pemikiran umat agar tidak semakin jauh dari kebenaran firman dan hadist. Amin...
BalasHapusluar biasa umat islam memang selalu menggunakan akalnya dalam memahami agama, memang agama itu adalah sesuai dengan akal dan fitrah manusia. itulah Islam agama yang haq.
BalasHapus