Jumat, 30 November 2012

Free will and Predestination


BAB I
PENDAHULUAN


  1. LATAR BELAKANG
Persoalan Iman (aqidah) agaknya merupakan aspek utama dalam ajaran Islam yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad. Pentingnnya masalah aqidah ini dalam ajaran Islam tampak jelas pada misi pertama dakwah Nabi ketika berada di Mekkah. Pada periode Mekkah ini, persoalan aqidah memperoleh perhatian yang cukup kuat dibanding persoalan syari’at, sehingga tema sentral dari ayat-ayat al-Quran yang turun selama periode ini adalah ayat-ayat yang menyerukan kepada masalah keimanan.[[1]]
Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu Kalam. Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teolog Islam berdebat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai mutakallim yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu kalam juga diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan yang mendasar dan tidak mudah digoyahkan. Munculnya perbedaan antara umat Islam. Perbedaan yang pertama muncul dalam Islam bukanlah masalah teologi melainkan di bidang politik. Akan tetapi perselisihan politik ini, seiring dengan perjalanan waktu, meningkat menjadi persoalan teologi.[[2]]
Perbedaan teologis di kalangan umat Islam sejak awal memang dapat mengemuka dalam bentuk praktis maupun teoritis. Secara teoritis, perbedaan itu demikian tampak melalui perdebatan aliran-aliran kalam yang muncul tentang berbagai persoalan. Tetapi patut dicatat bahwa perbedaan yang ada umumnya masih sebatas pada aspek filosofis diluar persoalan keesaan Allah, keimanan kepada para rasul, para malaikat, hari akhir dan berbagai ajaran nabi yang tidak mungkin lagi ada peluang untuk memperdebatkannya. Misalnya tentang kekuasaan Allah dan kehendak manusia, kedudukan wahyu dan akal, keadilan Tuhan. Perbedaan itu kemudian memunculkan berbagai macam aliran, yaitu Mu'tazilahSyiah, KhawarijJabariyah dan Qadariyah serta aliran-aliran lainnya.
Makalah ini akan mencoba menjelaskan aliran Jabariyah danQadariyah. Dalam makalah ini penulis hanya menjelaskan secara singkat dan umum tentang aliran Jabariyah dan Qadariyah. Mencakup di dalamnya adalah latar belakang lahirnya sebuah aliran dan ajaran-ajarannya secara umum.
  1. TUJUAN
a.              Mahasiswa mampu mengetahui pengertian dari “Free will dan Predestination”
b.              Mahasiswa mampu mengetahui hubungan antara “Free will dan Predestination” dengan aliran “Qadariyah dan Jabariyah”
c.              Mahasiswa mampu mngetahui pendapat dari masing-masing aliran tentang “Free will dan Predestination”























BAB II
ISI
A.    Pengertian “Free will dan Predestination”
Perbuatan manusia diinterpretasikan oleh dua aliran yang paradoks. Pertama, ada yang memandangnya sebagai kehendak bebas manusia. Bahwa perbuatan-perbuatan manusia itu adalah diciptakan manusia sendiri. Manusialah yang berkehendak. Apa yang dia inginkan, dia bias lakukan. Sebaliknya, yang tidak diinginkan, dia bias saja untuk tidak melakukannya. Kedua, begi kelompok ini perbuatan manusia itu bukan diciptakan oleh manusia. Melainkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Bagi kelompok ini, manusia tidak bias berbuat apa-apa, manusia tidak memiliki kekuatan untuk melakukan perbuatan. Manusia hanyalah dikendalikan Allah subhanahu wa ta’ala. Aliran pertama ini, dalam pemikiran Islam dikenal dengan sebutan Qadariyah (Free will). Sementara yang kedua disebut Jabariyah (Predestination).

a.      ALIRAN JABARIYAH (FATALISM/PREDESTINATION)
Latar Belakang Lahirnya Jabariyah
Secara bahasa Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung pengertian memaksa. Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur).
Menurut Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa Jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.
Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya penjelelasan yang sarih. Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan.[[5]] Adapaun tokoh yang mendirikan aliran ini menurut Abu Zaharah dan al-Qasimi adalah Jahm bin Safwan,[[6]] yang bersamaan dengan munculnya aliran Qadariayah.
Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata dapat tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.
Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyarakat arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan disekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak tergantung dengan Alam, sehingga menyebabakan mereka kepada paham fatalism.
Terlepas dari perbedaan pendapat tentang awal lahirnya aliran ini, dalam Alquran sendiri banyak terdapat ayat-ayat yeng menunjukkan tentang latar belakang lahirnya paham Jabariyah, diantaranya:
a. QS ash-Shaffat: 96
ª!$#ur ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ  
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".
b.      QS al-Anfal: 17
öNn=sù öNèdqè=çFø)s?  ÆÅ3»s9ur ©!$# óOßgn=tGs% 4 $tBur |MøtBu øŒÎ) |MøtBu  ÆÅ3»s9ur ©!$# 4tGu 4 uÍ?ö7ãŠÏ9ur šúüÏZÏB÷sßJø9$# çm÷ZÏB ¹äIxt/ $·Z|¡ym 4 žcÎ) ©!$# ììÏJy ÒOŠÎ=tæ ÇÊÐÈ  

 “ Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
c. QS al-Insan: 30
$tBur tbrâä!$t±n@ HwÎ) br& uä!$t±o ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã $VJÅ3ym ÇÌÉÈ  

Artinya : “Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Selain ayat-ayat Alquran di atas benih-benih faham al-Jabar juga dapat dilihat dalam beberapa peristiwa sejarah:
a.       Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah Takdir Tuhan, Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
b.      Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika diintrogasi, pencuri itu berkata "Tuhan telah menentukan aku mencuri". Mendengar itu Umar kemudian marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta. Oleh karena itu Umar memberikan dua jenis hukuman kepada orang itu, yaitu: hukuman potongan tangan karena mencuri dan hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
c.       Ketika Khalifah Ali bin Abu Thalib ditanya tentang qadar Tuhan dalam kaitannya dengan siksa dan pahala. Orang tua itu bertanya,"apabila perjalanan (menuju perang siffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya. Kemudian Ali menjelaskannya bahwa Qadha dan Qadha Tuhan bukanlah sebuah paksaan. Pahala dan siksa akan didapat berdasarkan atas amal perbuatan manusia. Kalau itu sebuah paksaan, maka tidak ada pahala dan siksa, gugur pula janji dan ancaman Allah, dan tidak pujian bagi orang yang baik dan tidak ada celaan bagi orang berbuat dosa.
d.      Adanya paham Jabar telah mengemuka kepermukaan pada masa Bani Umayyah yang tumbuh berkembang di Syiria.]
Di samping adanya bibit pengaruh faham jabar yang telah muncul dari pemahaman terhadap ajaran Islam itu sendiri. Ada sebuah pandangan mengatakan bahwa aliran Jabar muncul karena adanya pengaruh dari dari pemikriran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab Qurra dan agama Kristen bermazhab Yacobit.[[10]]
Dengan demikian, latar belakang lahirnya aliran Jabariyah dapat dibedakan kedalam dua factor, yaitu factor yang berasal dari pemahaman ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan Sunnah, yang mempunyai paham yang mengarah kepada Jabariyah. Lebih dari itu adalah adanya pengaruh dari luar Islam yang ikut andil dalam melahirkan aliran ini.
Adapun yang menjadi dasar munculnya paham ini adalah sebagai reaksi dari tiga perkara: pertama, adanya paham Qadariyah, keduanya, telalu tekstualnya pamahaman agama tanpa adanya keberanian menakwilkan dan ketiga adalah adanya aliran salaf yang ditokohi Muqatil bin Sulaiman yang berlebihan dalam menetapkan sifat-sifat Tuhan sehingga membawa kepada Tasybih.

c.      Ajaran-ajaran Jabariyah (Predestination)
Adapun ajaran-ajaran Jabariyah dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu ekstrim dan moderat.
Pertama, aliran ekstrim. Di antara tokoh adalah Jahm bin Shofwan dengan pendapatnya adalah bahwa manusia tidak mempu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih dikenal dibandingkan dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di akherat. Surga dan nerka tidak kekal, dan yang kekal hanya Allah. Sedangkan iman dalam pengertianya adalah ma'rifat atau membenarkan dengan hati, dan hal ini sama dengan konsep yang dikemukakan oleh kaum Murjiah. Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah tidak mempunyai keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar, dan melihat, dan Tuhan juga tidak dapat dilihat dengan indera mata di akherat kelak.[[12]]Aliran ini dikenal juga dengan nama al-Jahmiyyah atau Jabariyah Khalisah.[[13]]
Ja'ad bin Dirham, menjelaskan tentang ajaran pokok dari Jabariyahadalah Alquran adalah makhluk dan sesuatu yang baru dan tidak dapat disifatkan kepada Allah. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat dan mendengar. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala hal.[[14]]
Dengan demikian ajaran Jabariyah yang ekstrim mengatakan bahwa manusia lemah, tidak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan, tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagaimana dimilki oleh paham Qadariyah. Seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari scenario dan kehendak Allah. Segala akibat, baik dan buruk yang diterima oleh manusia dalam perjalanan hidupnya adalah merupakan ketentuan Allah.
Kedua, ajaran Jabariyah yang moderat adalah Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Manusia juga tidak dipaksa, tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan tuhan. Tokoh yang berpaham seperti ini adalah Husain bin Muhammad an-Najjar yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu dan Tuhan tidak dapat dilihat di akherat. Sedangkan adh-Dhirar (tokoh jabariayah moderat lainnya) pendapat bahwa Tuhan dapat saja dilihat dengan indera keenam dan perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pihak.[[15]]

C. ALIRAN QADARIYAH ( FREE WILL AND FREE ACT(
 Latar Belakang Lahirnya Aliran Qadariyah
Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun secara termenologi istilah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diinrvensi oleh Allah. Aliran-aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbutan-perbutannya. Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.[[16]]
Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Dr. Hadariansyah, orang-orang yang berpaham Qadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyahpertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M. 
Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad Amin, aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada mulanya beragama Kristen, kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen. Namanya adalah Susan, demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib. Sementara W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam kitab ar-Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700M.
Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah sebagai isyarat menentang politik Bani Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyahdalam wilayah kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah dapat dikatakan lenyap tapi hanya untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah itu tertampung dalam Muktazilah.
d.  Ajaran-ajaran Qadariyah
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang ajaranQadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Tokoh an-Nazzam menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan dengan daya itu ia dapat berkuasa atas segala perbuatannya.
Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Ganjaran kebaikan di sini disamakan dengan balasan surga kelak di akherat dan ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akherat, itu didasarkan atas pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu sangat pantas, orang yang berbuat akan mendapatkan balasannya sesuai dengan tindakannya.
Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep yang umum yang dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dengan demikian takdir adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hokum yang dalam istilah Alquran adalah sunnatullah.
Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam demensi fisiknya tidak dapat bebruat lain, kecuali mengikuti hokum alam. Misalnya manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip seperti ikan yang mampu berenang di lautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang mampu membawa barang seratus kilogram.
Dengan pemahaman seperti ini tidak ada alasan untuk menyandarkan perbuatan kepada Allah. Di antara dalil yang mereka gunakan adalah banyak ayat-ayat Alquran yang berbicara dan mendukung paham itu :
¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbrßÅsù=ムþÎû $uZÏF»tƒ#uä Ÿw tböqxÿøƒs !$uZøn=tã 3 `yJsùr& 4s+ù=ムÎû Í$¨Z9$# îŽöyz Pr& `¨B þÎAù'tƒ $YZÏB#uä tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# 4 (#qè=uHùå$# $tB ôMçGø¤Ï© ( ¼çm¯RÎ) $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÅÁt/ ÇÍÉÈ     

Artinya : “Kerjakanlah apa yang kamu kehendaki sesungguhnya Ia melihat apa yang kamu perbuat”. (QS. Fush-Shilat : 40).
È@è%ur ,ysø9$# `ÏB óOä3În/§ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3uù=sù 4 !$¯RÎ) $tRôtGôãr& tûüÏJÎ=»©à=Ï9 #·$tR xÞ%tnr& öNÍkÍ5 $ygè%ÏŠ#uŽß  4 bÎ)ur (#qèVŠÉótGó¡o (#qèO$tóム&ä!$yJÎ/ È@ôgßJø9$%x. Èqô±o onqã_âqø9$# 4 š[ø©Î/ Ü>#uŽ¤³9$# ôNuä!$yur $¸)xÿs?öãB ÇËÒÈ  
Artinya : “Katakanlah kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau beriman maka berimanlah dan barang siapa yang mau kafir maka kafirlah”. (QS. Al-Kahfi : 29).
!$£Js9urr& Nä3÷Gu;»|¹r& ×pt7ŠÅÁB ôs% Läêö6|¹r& $pköŽn=÷VÏiB ÷Läêù=è% 4¯Tr& #x»yd ( ö@è% uqèd ô`ÏB ÏYÏã öNä3Å¡àÿRr& 3 ¨bÎ) ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« ֍ƒÏs% ÇÊÏÎÈ     
Artinya : “dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), Padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS.Ali Imran :165)
¼çms9 ×M»t7Ée)yèãB .`ÏiB Èû÷üt/ Ïm÷ƒytƒ ô`ÏBur ¾ÏmÏÿù=yz ¼çmtRqÝàxÿøts ô`ÏB ̍øBr& «!$# 3 žcÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3 !#sŒÎ)ur yŠ#ur& ª!$# 5Qöqs)Î/ #[äþqß Ÿxsù ¨ŠttB ¼çms9 4 $tBur Oßgs9 `ÏiB ¾ÏmÏRrߊ `ÏB @A#ur ÇÊÊÈ  
Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan[Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka.] yang ada pada diri mereka sendiri”. (QS.Ar-R’d :11)
e. Refleksi Faham Qadariyah(Free will)  dan Jabariyah (Predestination) :     Sebuah Perbandingan tentang Musibah
Dalam paham Jabariyah, berkaitan dengan perbuatannya, manusia digambarkan bagai kapas yang melayang di udara yang tidak memiliki sedikit pun daya untuk menentukan gerakannya yang ditentukan dan digerakkan oleh arus angin. Sedang yang berpaham Qadariyah akan menjawab, bahwa perbuatan manusia ditentukan dan dikerjakan oleh manusia, bukan Allah. Dalam paham Qadariyah, berkaitan dengan perbuatannya, manusia digambarkan sebagai berkuasa penuh untuk menentukan dan mengerjakan perbuatannya.
Pada perkembangan selanjutnya, paham Jabariyah disebut juga sebagai paham tradisional dan konservatif dalam Islam dan pahamQadariyah disebut juga sebagai paham rasional dan liberal dalam Islam. Kedua paham teologi Islam tersebut melandaskan diri di atas dalil-dalil naqli (agama) - sesuai pemahaman masing-masing atas nash-nash agama (Alquran dan hadits-hadits Nabi Muhammad) - dan aqli (argumen pikiran). Di negeri-negeri kaum Muslimin, seperti di Indonesia, yang dominan adalah paham Jabariyah. Orang Muslim yang berpaham Qadariyah merupakan kalangan yang terbatas atau hanya sedikit dari mereka.
Kedua paham itu dapat dicermati pada suatu peristiwa yang menimpa dan berkaitan dengan perbuatan manusia, misalnya, kecelakaan pesawat terbang. Bagi yang berpaham Jabariyah biasanya dengan enteng mengatakan bahwa kecelakaan itu sudah kehendak dan perbuatan Allah. Sedang, yang berpaham Qadariyah condong mencari tahu di mana letak peranan manusia pada kecelakaan itu.
Kedua paham teologi Islam tersebut membawa efek masing-masing. Pada paham Jabariyah semangat melakukan investigasi sangat kecil, karena semua peristiwa dipandang sudah kehendak dan dilakukan oleh Allah. Sedang, pada paham Qadariyah, semangat investigasi amat besar, karena semua peristiwa yang berkaitan dengan peranan (perbuatan) manusia harus dipertanggungjawabkan oleh manusia melalui suatu investigasi.
Dengan demikian, dalam paham Qadariyah (Free will), selain manusia dinyatakan sebagai makhluk yang merdeka, juga adalah makhluk yang harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Posisi manusia demikian tidak terdapat di dalam paham Jabariyah(Predestination). Akibat dari perbedaan sikap dan posisi itu, ilmu pengetahuan lebih pasti berkembang di dalam paham Qadariyah ketimbang Jabariyah.
Dalam hal musibah gempa dan tsunami baru-baru ini, karena menyikapinya sebagai kehendak dan perbuatan Allah, bagi yang berpahamJabariyah, sudah cukup bila tindakan membantu korban dan memetik "hikmat" sudah dilakukan.
Sedang hikmat yang dimaksud hanya berupa pengakuan dosa-dosa dan hidup selanjutnya tanpa mengulangi dosa-dosa. Sedang bagi yang berpaham Qadariyah, meski gempa dan tsunami tidak secara langsung menunjuk perbuatan manusia, namun mengajukan pertanyaan yang harus dijawab : adakah andil manusia di dalam "mengganggu" ekosistem kehidupan yang menyebabkan alam "marah" dalam bentuk gempa dan tsunami? Untuk itu, paham Qadariyah membenarkan suatu investigasi (pencaritahuan), misalnya, dengan memotret lewat satelit kawasan yang dilanda musibah.

B.     Pendapat aliran-aliran tentang “Free will dan Predestination”
a.       Mu’tazilah
Kaum mu’tazilah , karena dalam system teologi mereka manusia dipandang mempunyai daya yang besar lagi bebas, sudah barang tentu menganut paham qadariyah atau free will. Dan memang mereka juga disebut kaum Qadariyah. Pula keterangan-keterangan dan tulisan-tulisan para pemuka mu’tazilah banyak mengandung paham kebebasan dan berkuasanya manusia atas perbuatanperbuatannya.
            Bagi Mu'tazilah yang berpaham (free wiil atau free art) manusia dipandang mempunyai daya yang besar dan bebas.Menurut Al-Jubba'i, manusia sendirilah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya.Manusia berbuat baik atau buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri.Daya (istitha'ah) untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri   manusia sebelum adanya perbuatan.Pendapat yang sama dikemukakan Abd Al-Jabbar. Ia mengemukakan bahwa perbuatan manusia bukanlah diciptakan oleh Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkannya.Dengan demikian, Mu'tazilah beranggapan bahwa Tuhan tidak mempunyai bagian dalaam perwujudan perbuatan-perbuatan manusia.
            Keterangan-keterangan di atas sangat jelas mengatakan bahwa kehendak untuk berbuat adalah kehendak manusia.Tapi selanjutnya tidak jelas apakah daya yang dipakai untuk mewujudkan perbuatan itu adalah pula daya manusia sendiri.Dalam hubungan ini perlu kiranya ditegaskan bahwa untuk terwujudnya perbuatan, harus ada kemauan atau kehendak dan daya untuk melaksanakan kehendak itu, dan kemudian barulah terwujudnya perbuatan.Disini belum jelas daya siapakah dalam paham Mu'tazilah yang mewujudkan perbuatan manusia, daya manusia atau daya Tuhan? Dari keterangan-keterangan Mu'tazilah di atas, mungkin dapat dapat ditarik kesimpulan bahwa karena perbuatan manusia adalah sebenarnya perbuatan manusia itu sendiri dan bukan perbuatan Tuhan, maka daya yang mewujudkan perbuatan itu tak boleh tidak mesti daya manusia bukan daya Tuhan.Sungguhpun demikian masih timbul pertanyaan.Apakah daya manusia sendiri yang mewujudkan perbuatannya ataukah daya Tuhan turut mempunyai bagian dalam mewujdkan perbuatan itu?            Jawaban untuk pertanyaan itu dapat diperoleh dari keterangan-keterangan yang diberikan Abd Al-Jabbar di dalam al-Majmu'. Di dalam buku ini ia menerangkan bahwa yang dimaksud dengan “Tuhan membuat manusia sanggup mewujudkan perbuatannya” ialah bahwa Tuhan menciptakan daya di dalam diri manusia dan pada daya inilah tergantung wujud perbuatan itu, bukanlah yang dimaksud bahwa Tuhan membuat perbuatan yang telah dibuat manusia.            Dengan demikian, Mu'tazilah tidak mengakui adanya qadla daan qadar Allah SWT sehingga sudah sangat jelas paham Mu'tazilahberanggapan bahwa perbuatan yang mereka lakukan adalah perbuatan diri manusia bukan perbuatan Tuhan.Dan setiap perbuatan pasti ada sebuah daya yang menimbulkan perbuatan itu.Daya yang berada dalam diri manusia ditimbulkan oleh manusia itu sendiri bukan daya Tuhan.Daya Tuhan tidak ada kaitannya atau tidak mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatan-perbuatan manusia.Perbuatan manusia seakan-akan adalah perbuatan Tuhan padahal bukan perbuatan Tuhan.Daya Tuhan tidak ikut campur dengan daya manusia.Masalah daya yang ada pada diri manusia itu menurut pendapat Mu'tazilah adalah daya yang juga diciptakan oleh manusia itu sendiri dan itu tidak ada hubungannya dengan daya Tuhan.
            Mu'tazilah mengecam keras keras paham yang mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan.Bagaimana mungkin, dalam satu perbuatan akan ada dua daya yang menentukan?Dengan paham ini,aliran Mu'tazilah mengaku Tuhan sebagai pencipta awal, sedangkan manusia berperan sebagai pihak yang berkreasi untuk mengubah bentuk.            Oleh karenanya,perbuatan manusia adalah perbuatan yang sebenarnya mereka buat atau mereka ciptakan bukan perbuatan Tuhan.Sehingga manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatan itu dan tidak ada keterkaitannya dengan Tuhan. Tuhan tidak mewujudkan perbuatan tersebut. Manusialah yang menciptakan perbuatannya sendiri dan bukan ciptaan atu perbuatan  Tuhan.
Manusia menurut kaum Mu’tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara langsung atau tidak. Manusia benar-benar bebas untuk menentukan pilihan perbuatannya; baik atau buruk. Tuhan hanya menyuruh  dan menghendaki yang baik, bukan yang buruk. Konsep ini memiliki konsekuensi  logis dengan keadilan Tuhan,yaitu, apapun yang akan diterima manusia diakhirat merupakan balasan perbuatannya di dunia.kebaikan akan dibalas dengan kebaikan dan kejahatan akan dibalas dengan kejahatan. Hal ini merupakan balasan perbuatan manusia yang terikat dengan baik dan buruk dari Allah.Allah berfirman:
(7)فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالْ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهُ (8)وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًا يَّرَهُ (الزلزلة:7-8) 
)7)Barang siapa yang mengerjakan kebaikan sebesar dzarrahpun,niscaya dia akan melihat balasannya(8)dan barang siapa yang megerjakan keburukan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat balasannya pula.(QS.Al-Zalzalah: 7-8)


b.      Asy’ariyah
Pada aliran Asy’ariyah, karena manusia dipandang lemah, paham qadariyah tidak terdapat. Kaum Asy’ariyah dalam hal ini lebih dekat kepada paham jabariyah daripada ke paham Mu’tazilah. Manusia dalam kelemahannya banyak bergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Untuk menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan kemauan dan kekuasaan mutlak Tuhan, al Asy’ari memakai kitab al’kasb (acquisition, perolehan). Paham al kasb sulit untuk dapat ditangkap, dan demikian sulitnya, sehingga ucapan “lebih sulit dari kasb al Asy’ari”. Menurut Abu ‘Uzbah, telah menjadi perumpamaan.
Dalam paham al Asy’ari, untuk terwujudnya perbuatan perlu ada dua daya, daya Tuhan dan daya manusia. Tetapi yang berpengaruh dan yang paling efektif pada akhirnya dalam pewujudan perbuatan ialah daya tuhan. Sebagai diterangkan oleh al-Isfarayini daya manusia tidaklah efektif kalau tidak disokong oleh daya Tuhan. Oleh karena iti al Ghozali mengatakan bahwa daya manusia lebih dekat merupakan impotensi daripada merupakan yang lain.
            Pendapat Mu’tazilah ini di tentang oleh Al-Ghozali, karena menurut pendapatnya hal ini bertentangan dengan ijma’ atau consensus alim ulama’ tentang tidak adanya pencipta kecuali Allah (la-khaliqa illa Allah).Tidaklah mengherankan sekiranya lawan menuduh mereka mempunyai pahamsyirk atau polyhteism dan kalau Al-Asy’ari menuduh mereka telah tidak berjihat lagi pada Tuhan.Tuduhan yang sama datang juga dari Al-Maturidi.Dalam pendapat kaum Mu’tazilah daya untuk berbuat, terdapat dalam diri manusia sebelum diwujudkan perbuatan yang bersangkutan. Dapatnya daya yang demikian dipergunakan manusia dengan merdeka dan menurut kehendaknya, kata Al-Maturidi, mesti membawa kepada paham bahwa manusia tidak berhajat lagi kepada Tuhan.
                        Di atas sudah sedikit di bahas tentang pertentangan pahah Mu’tazilah.Menurut aliran Asy’ariah, di sini, karena manusia dipandang lemah, paham Qadariyah tidak terdapat. Kaum Asy’ariyah dalam hal ini lebih dekat kepada paham Jabariyah daripada paham Qadariyah atauMu’tazilah. Manusia dalam kelemahannya banyak bergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Untuk menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan kemauan dan kekuatan mutlak Tuhan,Al-Asy’ari memakai kata al-kasb (acquistion,perolehan). Al kasb adalah perbuatan yang terletak di dalam lingkungan kekuasan diciptakan. Definisi ini menurut ‘Abduh mengandung arti bahwa daya manusia turut serta ( li al-Qudroh madkhol ) dalam perwujudan perbuatannya. Oleh karena itu ‘Abduh berpendapat bahwa manusia dalam teori al kasb tidaklah seluruhnya bersifat pasif, sebagaimana halnya manusia dalam paham jabariyah atau predestinationPaham al-kasb sulit untuk dapat ditangkap, dan demikian sulitnya,sehingga ucapan”lebih sulit dari kasb al-Asy’ari,” menurut Abu ‘Uzbah, telah menjadi perumpamaan.
            Iktisab, menurut Asy’ariah, adalah terjadinya sesuatu dengan perantara daya yang diciptakan.Dengan demikian, menjadi kasb bagi orang yang menggunakan daya itu dan terciptalah perbuatan. Jadi, kasb adalah sesuatu yang timbul dari al-muktasib (yang memperoleh) dengan perantaraan daya yang diciptakan. Dengan teori kasb ini, Asy’ariah ingin memperlihatkan bahwa manusia mempunyai aktifitas dalam hubungannya dengan terciptanya perbuatan. Namun, dengan di kemukakannya bahwa kasb itu diciptakan Tuhan, itu menunjukkan bahwa manusia memiliki keterkaitan-keterkaitan.Ayat yang di jadikan landasan adalah surat Al-Shaffat ayat 96 dan Al-Insan ayat 30. Jadi, kasb sebenarnya perbuatan Tuhan sendiri.
وَاللهُ خَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلون
Artinya : “Allah telah mencitakan kamu dan apa yang kamu perbuat.” (QS.As-Saffat : 96)
            Wa ma ta’malun, di sini diartikan oleh as-Asy’ari “apa yang kamu perbuat dan bukan “apa yang kamu buat.” Dengan demikian ayat ini mengandung arti Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan kamu. Jadi, dalam paham al-Asy’ari , perbuatan-perbuatan manusia adalah diciptakan Tuhan. Dan tidak ada pembuat (fa’il atau agent) bagi kasb kecuali Allah . Dengan perkatan lain, yang mewujudkan al-kasb atau perbuatan manusia , dalam pendapat al-Asy’ari , sebenarnya adalah Tuhan sendiri.           Sebenarnya pendapat al-Asy’ari yang demikian dapat dilihat dari uraiannya mengenai perbuatan-perbuatan involunter (harkah al-idtirar)dari manusia . Dalam perbuatan –perbuatan involunter , kata al-Asy’ari , terdapat dua unsur , penggerak yang mewujudkan gerak dan badan yang bergerak . Penggerak yaitu pembuat gerak yang sebenarnya (al-fail laha ‘ala haqiqatiha)adalah tuhan Tuhan dan yang bergerak adalah manusia . Yang bergerak tidaklah Tuhan karena gerak menghendaki tempat yang bersifat jasmani . Tuhan tidak mungkin   mempunyai bentuk  jasmani . Al-kasb , serupa dengan gerak involunter ini, juga mempunyai dua unsur, pembuat yang memperoleh perbuatan. Pembuat yang sebenarnya al-kasb ialah Tuhan sedangkan yang memperoleh perbuatan adalah manusia . Tuhan tidak menjadi yang memperoleh perbuatan karena, al-kasb terjadi hanya dengan daya yang diciptakan , dan Tuhan tidak mungkin mempunyai daya yang diciptakan.
            Teori kasb Asy’ariah ini dapat dilihat dalam perbuatan-perbuatan involunter (harakah al-idtitar).Menurut Asy’ariah, dalam perbuatan itu ada dua unsur, penggerak dan mewujudkan gerak, dan badan yang bergerak. Penggerak adalah pembuat gerak (Tuhan) dan yang bergerak adalah badan manusia.Yang bergerak tidak mungkin Tuhan, karena gerak menghendaki tempat yang bersifat jasmani.Jadi manusia tempat berlakunya perbuatan-perbuatan Tuhan.Tegasnya, dalam perbuatan-perbuatan , Tuhan mengambil tempat dalam diri manusia.Al –kasb hanyalah perbuatan paksaan.
            Dengan demikian al-kasb, sebagaimana halnya dengan perbuatan perbuatan involunter, merupakan perbuatan paksaan dan perbuatan di luar kekuasaan manusia. Tetapi sungguhpun demikian Al-Asy’ari mengadakan perbedaan antara keduanya. Dalam perbuatan involunter, kata Al-Asy’ari, manusia terpaksa melakukan sesuatu yang tidak dapat dielekkannya, walau bagaimanapun ia berusaha. Tetapi dalam al-kasb, demikian asy’ari selanjutnya, paksaan yang demikian tidak terdapat.Gerakan manusia berjalan pulang pergi berlainan dengan gerak manusia manusia yang menggigil karena demam.Orang dapat membedakan kedua hal ini. Dalam hal pertama terdapat daya yang diciptakan sedangkan dalam hal kedua terdapat ketidakmampuan.Karena dalam hal pertama terdapat daya, perbuatan itu tidak dapat disebut paksaan,kepadanya diberi nama al-kasb.Begitupun,kedua perbuatan itu adalah ciptaan Tuhan.


c.       Al Maturidiyah Samarkand
  Pendapat Mu’tazilah di atas hampir sama dengan pendapat Maturidiah Samarkand. Menurut Maturidiah Samarkand, perbuatan manusia itu ciptaan Tuhan, Disebutkannya dua perbuatan, yaitu perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan mengambil bentuk penciptaan daya dalam diri manusia, dan pemakaian daya itu sendiri itu adalah perbuatan manusia Kehendak dan daya berbuat pada diri manusia menurut Maturidiyah Samarkand, adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata sebenarnya dan bukan dalam arti kiasan. Namun, bagi Maturidi Samarkand, daya itu diciptakan bersama-sama dengan perbuatan. Berbeda dengan Mu’tazilah yang beranggapan bahwa daya diciptakan lebih dahulu dari perbuatan. Sehingga manusia dalam faham Al Maturidi tidaklah sebebas manusia dalam Mu’tazilah Perbuatan manusia, menurut Samarkand, merupakan perbuatan manusia yang sebenarnya, sehingga apa yang disebut pemberian pahala dan siksa didasarkan atas pemakaian daya yang diciptakan.

d.      Al Maturidiyah Bukhara
Adapun Maturidiah golongan Bukhara, maka bagi mereka, menurut yang di jelaskan al-Bazdawi, kehendak berbuat adalah sama dengan kehendak yang terdapat dalam paham golongan Samarkand. Mereka juga mengikuti Abu Hanifah dalam paham kehendak dan kerelaan hati Tuhan. Kebebebasan kehendak bagi mereka hanyalah juga kebebasan untuk berbuat tidak dengan kerelaan hati Tuhan. Daya juga sama, yaitu daya diciptakan bersam-sama dengan perbuatan. Pendapat bahwa daya diciptakan sebelum perbuatan, kata al-Bazdawi, adalah salah besar dan akan membawa kepada keyakinan bahwa manusialah yang menciptakan perbuatannya.
Golongan ini juga berpendapat bahwa untuk perwujudan perbuatan perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk menciptakan. Daya yang ada pada manusia bisa untuk melakukan perbuatan. Hanya Tuhan yang dapat mencipta, dan dalam ciptaannya termasuk perbuatan manusia. Dengan demikian manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan baginya.
         Selanjutnya,Al-Bazdawi mengatakan bahwa dalam perwujudan, terdapat dua perbuatan, perbuatan manusia dan perbuatan Tuhan.Perbuatan Tuhan adalah menciptakan perbuatan manusia,bukan penciptaan daya.Duduk, misalnya, adalah dengan daya yang diciptakan Tuhan.Melakukan perbuatan duduk dengan daya yang diciptakan Tuhan adalah perbuatan manusia.Di sini Al-Bazdawi ingin menjelaskan bahwa perbuatan manusia itu diciptaan Tuhan, bukan perbuatan Tuhan.Ia menjelaskan bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam kemauan dan perbuatannya. Kebebasan dalam paham ini dalam arti yang sangat kecil. Perbuatan manusia hanyalah melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan,tepatnya bukan menciptakan tetapi melakukan perbuatan.Menciptakan perbuatan lebih efektif ketimbang melakukan. Jadi, perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan, bukan perbuatan manusia.
            Dengan adanya kritika serupa ini, Al-Bazdawi akhirnya ragu-ragu dalam mengatakan bahwa perbuatan manusia adalah perbuatan manusia dalam arti kata sebenarnya, sungguhpun ia pada mulanya dengan tegas mengatakan yang demikian. Bagi golongan Maturidiah Bukhara, akhirnya, sebagai halnya dengan kaum Al-Asy’ariah, daya manusia tidaklah efektif dalam mewujudkan perbuatannya.













BAB III
KESIMPULAN
Menurut penulis solusi terhadap pandangan Free will dan Predestination yaitu bahwa manusia benar-benar memiliki kebebasan berkehendak dan karenanya ia akan dimintai pertanggungjawaban atas keputusannya, meskipun demikian keputusan tersebut pada dasarnya merupakan pemenuhan takdir (ketentuan) yang telah ditentukan. Dengan kata lain, kebebasan berkehendak manusia tidak dapat tercapai tanpa campur tangan Allah SWT, seperti seseorang yang ingin membuat meja, kursi atau jendela tidak akan tercapai tanpa adanya kayu sementara kayu tersebut yang membuat adalah Allah SWT.
Sebagai penutup dalam makalah ini. Free will dan Predestination nampaknya memperlihatkan paham yang saling bertentangan sekalipun mereka sama-sama berpegang pada Alquran. Hal ini menunjukkan betapa terbukanya kemungkinan perbedaan pendapat dalam Islam.


















DAFTAR PUSTAKA

Al-Qaththan, Manna Khalil. 2004. Studi Ilmu-ilmu Alqur’an. Jakarta : Litera AntarNusa
Anwar, Rosihan. 2006. Ilmu Kalam. Bandung : Pustaka Setia
Asmuni, Yusran. 1996. Pengantar Studi Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran. Jakarta  Raja grafindo Persada
Hadariansyah, AB. 2008. Pemikiran Pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam. Banjarmasin : Antasari Press
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam : Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta : U-I Press